KEPERCAYAAN MASYARAKAT LIO
TENTANG SEJARAH TERBENTUKNYA DANAU KELIMUTU
Kehidupan manusia memang tidak terlepas dari lingkungan tempat hidupnya. Interaksi manusia, lingkungan serta zat ilahi, melahirkan pola-pola kebudayaan yang berpadu dengan kepercayaan tradisional yang mengakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat lokal. Demikian pula, pada masyarakat Lio (salah satu suku di pedalaman pulau Flores) khususnya yang bermukim di sekitar gunung Kelimutu (gunung berapi tidak aktif) yang memiliki tiga buah danau dengan kekhasan warna masing-masing yang senantiasa berubah-ubah pada periode waktu tertentu atau oleh sebab tertentu. Ketiga danau tersebut, yaitu Tiwu Ata Bupu, Tiwu Ko’ofai Nuwamuri, dan Tiwu Ata Polo. Dari sisi sejarah vulkanis dan geologis, memang harus dibuktikan sejarah terbentuknya ketiga danau yang telah diakui sebagai salah satu keajaiban alam tersebut. Dan untuk yang satu ini, belum banyak hasil penelitian atau data yang pasti tentang terbentuknya ketiga danau tersebut. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari sejumlah sumber, memang pernah terjadi letusan besar di gunung kelimutu tersebut yaitu antara tahun 1860-1870. Namun, apakah memang terbentuk pada waktu itu?. Secara geologis, urutan terbentuknya ketiga danau tersebut dimulai dari Tiwu Ata Mbupu, disusul Tiwu Ata Polo, lalu terakhir Tiwu Ko’ofai Nuwamuri. Suatu hal yang sangat menakjubkan, yaitu urutan terbentuknya ketiga danau tersebut menurut sejarah geologis ternyata sejalan dengan sejarah kepercayaan (cerita turun temurun) penduduk setempat. Ini dibuktikan pada kisah yang akan diungkap di bawah ini.
Menurut kepercayaan
penduduk setempat, manusia itu terdiri atas badan (tebo) dan jiwa (mae).
Badan atau tebo akan mati sedangkan
jiwa atau mae akan meninggalkan
kampung asal dan pergi ke alam baka. Lalu dimanakah alam baka itu menurut
kepercayaan tradisional setempat?. Mari kita simak melalui ungkapan-ungkapan
yang disampaikan oleh tetua adat apabila seseorang anggota masyarakat mereka meninggal
dunia, yaitu : “Mutu gu, Ia pai ulu du Mutu, bai seda Ia” yang artinya “Dia sudah dipanggil oleh Mutu (Kelimutu) dan Ia (gunung Ia, dekat kota
Ende), kepalanya mengarah ke Mutu dan kakinya menyentuh Ia”.
Penduduk setempat
percaya bahwa, apabila yang meninggal itu seseorang yang telah tua maka
arwahnya akan ditempatkan di Tiwu
(danau) Ata Mbupu (orang tua), dan
apabila yang meninggal itu muda-mudi, maka akan ditempatkan di Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai, sedangkan
apabila yang meninggal itu orang jahat,
maka arwahnya akan ditempatkan di Tiwu
Ata Polo. Itulah alam baka menurut kepercayaan tradisional mereka.
Bagaimanakah kisah
awalnya hingga kepercayaan ini bisa lahir dan diwariskan secara turun temurun?
Dikisahkan, pada jaman
dahulu kala, di puncak gunung Kelimutu yang disebut Bhua Ria (hutan lebat yang selalu berawan), bermukim Konde Ratu
bersama rakyatnya. Di kalangan rakyat kala itu, terdapat dua tokoh yang sangat
disegani, yaitu Ata Polo si tukang
sihir jahat dan kejam yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu yang dihormati karena sifatnya yang berbelas kasih serta
memiliki penangkal sihir Ata Polo.
Walaupun memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan disegani masyarakat, keduanya berteman
baik serta tunduk dan hormat kepada Konde Ratu. Ata Bupu dikenal sebagai petani yang memiliki ladang kecil di
pinggir Bhua Ria, sedangkan Ata Polo lebih suka berburu mangsa
berupa manusia di seluruh jagat raya.
Pada masa itu, kehidupan
di Bhua Ria berlangsung tenang dan
tenteram, sampai kedatangan sepasang Ana
Kalo (anak yatim piatu) yang meminta perlindungan Ata Bupu karena ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka. Karena sifatnya yang
berbelas kasih, permintaan kedua anak yatim
piatu tersebut dikabulkan oleh Ata
Bupu namun dengan satu syarat, yaitu mereka harus menuruti nasehatnya untuk
tidak meninggalkan areal ladangnya agar tidak dijumpai dan dimangsa oleh Ata Polo.
Pada suatu hari, Ata Polo datang menjenguk Ata Bupu di ladangnya. Setibanya di
ladang Ata Bupu, Ata Polo mencium bau menusuk (bau mangsa) dalam pondok Ata Bupu. Segera meleleh air liur Ata Polo yang kemudian hendak mencari
mangsanya di dalam pondok tersebut. Niat jahat Ata Polo tersebut diketahui oleh Ata Bupu yang segera menahan langkah Ata Polo sambil menyarankan kepadanya untuk datang kembali kelak
setelah anak-anak tersebut sudah dewasa, karena saat ini mereka masih anak-anak,
lagi pula dagingnya tentu tidak sedap untuk disantap. Saran ini diterima oleh Ata Polo, yang kemudian pergi
meninggalkan Ata Bupu yang sedang
kebingungan memikirkan cara terbaik menyelamatkan dua anak manusia tadi.
Ancaman Ata Polo tadi begitu menakutkan bagi
kedua anak manusia tersebut, sehingga ketika mereka mulai beranjak remaja atau
menjadi Ko’ofai (gadis muda) dan Nuwa Muri (pemuda), mereka memohon izin
pada Ata Bupu untuk mencari tempat
persembunyian di gua-gua yang ada di luar ladang Ata
Bupu. Mereka akhirnya berhasil menemukan sebuah gua yang terlindung
tumbuhan rotan dan akar beringin.
Ketika tiba saatnya,
sesuai waktu yang telah disepakati, Ata
Polo mendatangi pondok Ata Bupu
untuk menagih janji. Namun karena ketika tiba di pondok Ata Bupu, dilihatnya kedua anak tersebut tidak berada di tempat,
maka Ata Polo pun marah dan menyerang
Ata Bupu dengan ganasnya. Menanggapi
serangan Ata Polo yang tidak
main-main, Ata Bupu segera membalas
serangan itu dengan ilmu andalannya “magi
puti” untuk menangkal “magi hitam”
Ata Polo. Pada awalnya perkelahian
keduanya berjalan seimbang karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi dan
setingkat. Namun, lama kelamaan tenaga Ata
Bupu yang sudah tua kian melemah, sementara gempuran semburan api Ata Polo semakin gencar dan menjadi-jadi.
Ata Bupu hanya bisa mengelak dengan
gempa bumi. Akibatnya timbul gempa bumi dan kebakaran besar hingga kaki gunung
Kelimutu. Ketika merasa tak mampu lagi menandingi kekuatan Ata Polo, Ata Bupu
memutuskan untuk raib ke perut bumi. Akibatnya Ata Polo menjadi semakin murka dan menggila. Ketika mencim bau dua
remaja yang tengah bersembunyi di dalam gua, Ata Polo pun bertambah beringas. Namun takdir akhirnya menentukan
bahwa Ata Polo harus tewas di telan
bumi karena sepak terjangnya yang kelewatan. Kedua remaja yang tengah
bersembunyi juga turut menjadi korban. Gua tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri runtuh akibat
gempa dan menguburkan keduanya hidup-hidup.
Beberapa saat setelah
kejadian itu, ditempat Ata Bupu raib
ke perut bumi, timbul danau berwarna biru. Di tempat Ata Polo tewas ditelan bumi terbentuk danau yang warna airnya merah
darah yang selalu bergolak. Sedangkan di tempat persembunyian Ko’ofai dan Nuwa Muri, terbentuk sebuah danau dengan warna air hijau tenang.
Ketiga danau berwarna tersebut, masing-masing oleh masyarakat setempat diberi
nama sesuai dengan sejarah terbentuknya tadi, yaitu Tiwu Ata Polo (dipercayai sebagai danau tempat berkumpulnya
arwah-arwah para tukan tenung atau orang jahat yang meninggal), Tiwu Nuwa Muri Ko’ofai (dipercayai
sebagai danau tempat berkumpulnya arwah muda mudi yang meninggal), dan Tiwu Ata Mbupu (dipercayai sebagai danau
tempat berkumpulnya arwah-arwah para tetua yang sudah meninggal).
Hingga kini, penduduk
sekitar gunung Kelimutu percaya bahwa mereka dapat melakukan kontak dengan
arwah orang tua atau leluhur mereka dengan memanggil nama orang tua atau
leluhurnya sebanyak tiga kali di depan Tiwu
Ata Mbupu. Menurut kepercayaan,
setelah pemanggilan dilakukan, biasanya arwah orang tuanya atau leluhur akan
datang dan memberikan petunjuk melalui mimpi. Kontak dengan orang tua/leluhur tersebut
biasa dilakukan untuk mendapatkan petunjuk apabila terjadi musibah, seperti
kehilangan barang atau ternak.
Demikian sekilas kisah sejarah terbentuknya danau
Kelimutu yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi
lainnya.
No comments:
Post a Comment